Jakarta

    Skandal beras oplosan yang mencuat belakangan ini dinilai bukan sekadar persoalan kecurangan bisnis, melainkan momentum untuk melakukan perombakan struktur industri beras nasional.

    Sekretaris Fraksi PKS di MPR RI, Johan Rosihan mengatakan polemik ini membuka peluang redistribusi kekuatan ekonomi dari segelintir konglomerat besar kepada pelaku usaha kecil, terutama penggilingan padi rakyat.

    “Ketika pengusaha penggilingan besar mengancam menghentikan operasi, saya justru melihat ini sebagai berkah tersembunyi. Saatnya kita memilih, mempertahankan oligopoli atau merebut kembali kedaulatan pangan melalui pemberdayaan lebih dari 161 ribu penggilingan padi rakyat,” ujar Johan dalam keterangannya, Kamis, (14/8/2025).


    SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

    Johan memaparkan terdapat ketimpangan ekstrem dalam struktur industri penggilingan padi Indonesia. Dari 161.401 penggilingan kecil yang merupakan 95,1% dari total unit, hanya menguasai 40-45% kapasitas pemrosesan. Sementara segelintir penggilingan besar, tak lebih dari 5%, menguasai mayoritas akses pasar premium dan distribusi. Paradoks ini mencerminkan distorsi ekonomi yang telah berlangsung puluhan tahun.

    Kondisi ini, menurut Johan, bukan terjadi secara alami, melainkan akibat kebijakan yang cenderung berpihak pada pemodal besar. Misalnya, syarat modal minimal Rp 2,5 miliar untuk perizinan usaha pertanian, aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang menekan margin, hingga akses terbatas ke Bulog dan jaringan ritel modern.

    Selain itu, sistem sertifikasi kualitas yang mahal membuat penggilingan rakyat sulit menembus pasar premium. “Ironisnya, justru penggilingan besar ini yang terlibat dalam skandal beras oplosan,” ujarnya.

    Dampak sosial-ekonominya juga terasa. Di Karawang, Jawa Barat, 10 dari 23 penggilingan rakyat terpaksa tutup karena tak mampu bersaing. Kondisi ini, kata Johan, mengakibatkan petani kehilangan akses penggilingan terdekat dan memicu antrean panjang pada musim panen.

    Potensi Lapangan Kerja

    Johan menilai, ancaman mogok dari penggilingan besar justru menjadi peluang membuka lapangan kerja baru. Jika produksi dialihkan ke penggilingan kecil, potensi serapan tenaga kerja mencapai 180-220 ribu pekerjaan langsung dan hingga 440 ribu pekerjaan tidak langsung.

    “Penggilingan kecil memberi multiplier effect ekonomi lokal yang lebih besar. Uang berputar di desa, membeli gabah dari petani sekitar, membayar buruh lokal, dan memakai jasa transportasi setempat,” kata Johan.

    Ia mencontohkan, distribusi penggilingan kecil lebih merata hingga ke pelosok, seperti di Sulawesi Selatan yang memiliki ribuan unit untuk melayani petani di daerah terpencil.

    Sejumlah negara Asia telah menerapkan model pemberdayaan penggilingan kecil. Vietnam menghubungkan 1,5 juta petani ke jaringan pemrosesan lewat koperasi, sedangkan Thailand mengembangkan sistem ‘rice doctor’ untuk meningkatkan kualitas produksi lokal.

    Tantangan efisiensi seperti tingkat rendemen yang sedikit lebih rendah pada penggilingan kecil, menurut Johan, dapat diatasi dengan modernisasi teknologi. Investasi sebesar USD 1 hingga USD 1,5 miliar atau setara 3-4 bulan subsidi pupuk, disebut mampu memodernisasi penggilingan rakyat.

    Program EU-SWITCH Asia di Jawa Timur dan Jawa Tengah dapat menjadi contoh di mana 150 penggilingan kecil yang beralih dari mesin diesel ke listrik berhasil meningkatkan produktivitas 15-20 persen dan menghemat biaya operasional.

    Desakan pada Pemerintah

    Johan menegaskan pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki pilihan historis yakni membiarkan oligopoli terus menguat atau memanfaatkan krisis ini untuk melakukan redistribusi ekonomi terbesar di sektor pangan.

    “Presiden sudah berulang kali menegaskan komitmen terhadap ekonomi kerakyatan. Momentum ini tidak akan datang dua kali,” ujarnya.

    Ia mengusulkan langkah konkret seperti moratorium penegakan hukum sementara untuk penggilingan kecil, program modernisasi teknologi massal, serta penguatan koperasi penggilingan.

    “Negara-negara tetangga sudah membuktikan ini bisa berhasil. Yang kita butuhkan hanya kemauan politik untuk memulai,” kata Johan.

    Johan mengingatkan, jika peluang ini terlewat, konglomerat besar akan segera pulih dan memperkuat dominasi. “Sejarah akan mencatat apakah kita memilih rakyat atau oligarki. Dan rakyat tidak akan melupakan pilihan itu,” pungkasnya.

    (prf/ega)



    Source link

    Share.