Jakarta –
Ketua Fraksi PKB MPR RI sekaligus Anggota Komisi IX DPR RI, Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, menyampaikan pentingnya peran negara dalam memastikan akses layanan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh masyarakat. Ia pun menyoroti ketimpangan distribusi tenaga kesehatan, rendahnya rasio dokter, serta perlindungan sosial nakes yang belum merata.
Menurut Eem, layanan kesehatan yang baik tidak bisa dilepaskan dari pemerataan distribusi tenaga kesehatan, fasilitas yang terakreditasi, dan perlindungan sosial bagi para tenaga medis.
“Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945 jelas menyebutkan hak atas pelayanan kesehatan. Tapi banyak dokter kita tidak bisa praktik karena birokrasi pelatihan yang ruwet, fasilitas yang tidak terakreditasi, dan beban administratif yang tak ramah pada realitas daerah,” tegas Eem dalam keterangan tertulis, Kamis (31/7/2025)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini ia sampaikan saat menghadiri 3rd Annual Scientific Meeting & Anniversary Lembaga Akreditasi Mutu Fasyankes Indonesia (LAMFI) di Yogyakarta. Forum ini dihadiri para pemangku kebijakan dari Kemenkes, BPJS, kepala daerah, organisasi profesi, hingga pimpinan faskes dari seluruh Indonesia.
Ketimpangan yang Kronis dan Akreditasi yang Lambat
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa rasio dokter Indonesia masih di angka 0,47 per 1.000 penduduk-hampir separuh dari standar WHO. Bahkan di beberapa kabupaten perbatasan dan wilayah 3T, satu dokter bisa menangani hingga 5.000 warga. Di sisi lain, lebih dari 10.000 fasilitas kesehatan belum terakreditasi hingga 2024, sehingga tidak bisa bermitra dengan BPJS dan tidak mendapat insentif.
“Bukan hanya tenaga medis yang tidak sejahtera, rakyat pun akhirnya kehilangan akses pada layanan yang seharusnya menjadi hak dasar mereka,” lanjut Eem.
Perlindungan Sosial Tenaga Kesehatan Masih Terbatas
Eem juga menggugat lemahnya jaminan sosial bagi nakes, khususnya di sektor non-ASN dan swasta. Banyak dari mereka belum mendapat perlindungan dari BPJS Ketenagakerjaan, padahal mereka bekerja dalam situasi berisiko tinggi-baik secara fisik maupun mental.
“Kita tidak bisa bicara mutu layanan, jika mereka yang melayani tidak terlindungi dan tidak sejahtera. Ini bukan hanya soal keadilan profesi, ini soal komitmen negara menjalankan konstitusi,” ujar politisi asal Jawa Barat tersebut.
Dorongan Kuat pada LAMFI dan Lampintar
Eem mendorong agar LAMFI tidak hanya menjadi lembaga akreditasi bersifat administratif, tetapi juga aktor perubahan dalam peningkatan kualitas layanan primer di tingkat lokal. Begitu pula Lampintar Paripurna-lembaga pelatihan resmi yang menyelenggarakan SKP-harus menjadi fasilitator kompetensi nakes dengan pelatihan yang murah, mudah diakses, dan relevan.
Pelatihan dan akreditasi, katanya, harus dirancang untuk membantu nakes, bukan mempersulit mereka.
Komitmen DPR: Sistem yang Kolaboratif dan Inklusif
Eem menyampaikan sejumlah agenda strategis yang tengah diperjuangkannya di parlemen, antara lain:
- Distribusi tenaga kesehatan ke wilayah terpencil melalui insentif afirmatif;
- Penguatan akreditasi faskes primer dengan sinergi antar lembaga;
- Reformasi sistem pelatihan SKP agar tidak memberatkan tenaga medis;
- Perluasan cakupan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan bagi seluruh nakes;
- Peningkatan anggaran SDM dan pendidikan tenaga kesehatan dalam APBN.
“Dokter tidak boleh merasa sendirian di desa terpencil. Bidan di klinik kecil pun harus merasa dilindungi negara. Hanya dengan itu mutu pelayanan kepada rakyat bisa meningkat secara nyata,” tegasnya.
LAMFI Tegaskan Peran dalam Budaya Mutu dan Perlindungan Nakes
Sekretaris Jenderal LAMFI, Surotul Ilmiyah, SKM, MKM, PhD, menyambut baik dorongan legislator tersebut. Ia menyebut bahwa LAMFI bukan sekadar lembaga pemeriksa, tetapi penggerak budaya mutu dan keselamatan kerja di sektor kesehatan.
“Kami tidak hanya akreditasi, kami ingin faskes berkembang. Kami ingin tenaga kesehatan terlindungi secara nyata, bukan sekadar formalitas administratif,” ujarnya.
LAMFI yang ditunjuk lewat SK Menkes No. HK.01.07/MENKES/32/2023, kini terus memperluas pendampingan dan edukasi kepada faskes-faskes di wilayah terpencil agar tak tertinggal dalam transformasi sistem kesehatan nasional.
(akn/ega)