Jakarta –
Muhammad Rafiqan merupakan jaksa kelahiran Aceh Tamiang, 18 Juni 1996, saat ini menjabat sebagai Kasubsi I Bidang Intelijen Kejaksaan Negeri Simeulue yang termasuk dalam wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Tugasnya dijalankan di daerah yang sangat terpencil, jauh dari keramaian serta sulit dijangkau transportasi umum. Atas kiprahnya ini, ia pun dianugerahi Adhyaksa Awards 2025 kategori Jaksa Pengawal Daerah Tertinggal pada malam puncak penganugerahan di Java Ballroom The Westin, Jakarta, Selasa, (23/9/2025).
“Tentu ini menjadi salah satu tantangan tersendiri, di mana kita kalau misalkan di daerah darat mungkin akses kita mudah, ke mana-mana kita cepat, sedangkan di sini kita membutuhkan waktu yang cukup lama dan itu pun dengan akses yang tidak mudah tentunya,” ujar Rafiqan kepada detikcom.
Mayoritas masyarakat yang ada di wilayah tugasnya ini terdiri dari nelayan, petani dan pekebun yang tinggal di desa-desa terpencil dengan kondisi geografis yang menantang. Beberapa desa hanya bisa dicapai lewat perahu kayu nelayan yang menantang ombak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Di mana untuk menuju ke desa tersebut membutuhkan akses yang lumayan lama dan juga selain melalui darat, kami juga harus melalui laut menggunakan kapal nelayan. Selama kurang lebih satu jam kami di perjalanan, barulah kami sampai di desa tersebut,” katanya.
Akses informasi di wilayah ini juga terbatas. Bahkan, sebagian desa belum memiliki jaringan internet yang membatasi komunikasi dan penyampaian informasi hukum di wilayah ini.
Pada 2024, untuk melakukan sosialisasi, Rafiqan mendatangi SMA di desa terpencil dengan jumlah murid yang bahkan tak mencapai 50 orang. Tak ada fasilitas modern, sinyal internet pun hanya muncul di beberapa titik saja. Namun, Rafiqan tetap tegak menyampaikan pesan hukum, memastikan generasi muda mendapatkan pengetahuan akan hak dan kewajiban mereka.
Tak berhenti di situ, bersama Kepala Kejari Simeulue, Rafiqan menyeberangi lautan menuju Pulau Teupah, pulau terluar Simeulue yang jarang tersentuh layanan hukum. Dengan perahu nelayan sederhana, perjalanan satu jam terasa seperti ekspedisi panjang. Ombak menghantam lambung perahu namun misi untuk membuka jendela hukum bagi masyarakat jauh lebih besar dari rasa takut.
Foto: Muhammad Rafiqan. (Dok. detikcom)
|
Di tahun 2024 juga Rafiqan telah berhasil melakukan sosialisasi hukum di 50 desa dari total 138 desa yang ada. Tahun ini, sosialisasi baru menjangkau enam hingga tujuh desa dikarenakan keterbatasan anggaran dan logistik.
“Iya tahun ini baru bisa di tujuh hingga delapan desa dan insyaallah akan terus berlanjut,” tegasnya.
Materi yang disampaikan mencakup pengenalan peran jaksa dan edukasi mengenai perbuatan yang melanggar maupun sejalan hukum agar masyarakat memahami hak dan kewajibannya.
“Masyarakat desa ini kan tentu tidak begitu paham akan hukum. Itulah mengapa setiap kami penyampaian kalimat yang kami ucapkan itu harus mudah diterima oleh masyarakat. Jangan sampai kita menggunakan bahasa-bahasa yang tidak familiar bagi masyarakat dan itu tentu nanti berakibat pada tidak pahamnya mereka,” jelasnya.
![]() |
Tidak selalu lancar. Ia juga pernah gagal mencapai salah satu desa terpencil yang membutuhkan perjalanan darat empat jam lamanya karena keterbatasan dana dan logistik. Setiap kegiatan sosialisasi yang dilakukannya harus direncanakan dengan cermat, mempertimbangkan seluruh aspek, terutama pendanaan.
Di tengah kondisi geografis yang menantang, Rafiqan terus menapaki tugasnya. Sosialisasi hukum bagi Rafiqan bukan sekadar kewajiban, tetapi misi untuk memastikan masyarakat Simeulue tetap memperoleh informasi hukum yang memadai dan tepat waktu.
(idn/idn)
Adhyaksa Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat jaksa teladan di sini