Jakarta –
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA), Arifatul Choiri Fauzi, mengeluhkan tak adanya anggaran untuk program kesetaraan gender serta perlindungan perempuan dan anak pada tahun anggaran 2026. Arifatul mengusulkan adanya penambahan anggaran sebesar Rp 50 miliar.
Hal itu disampaikan Arifatul saat rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/7/2025). Arifatul menyampaikan pagu indikatif anggaran tahun 2026 untuk KemenPPPA hanya sebesar Rp 133.073.948.000.
“Mengalami penurunan sebesar 55,74% dibandingkan dengan pagu tahun 2025. Pagu indikatif tersebut hanya dialokasikan untuk belanja operasional gaji dan tunjangan kinerja pegawai Kemen PPA dan KPAI, serta belanja operasional barang,” kata Arifatul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sementara untuk melaksanakan program teknis, yaitu program kesetaraan gender, perlindungan perempuan dan anak, tidak terdapat alokasi anggaran,” sambungnya.
Selain itu, kata dia, dana alokasi khusus bidang perlindungan perempuan dan anak, baik fisik maupun non-fisik juga tidak ada lagi. Padahal, menurutnya, deks PPA itu sangat dibutuhkan untuk membantu daerah menyediakan layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan serta TPPO.
Sebab itu, Arifatul mengusulkan adanya penambahan anggaran untuk 2026. Menurutnya, hal itu untuk mendukung asta cita dan menyukseskan program Presiden Prabowo Subianto.
“Mengusulkan tambahan anggaran untuk program sebesar Rp 50 miliar. Usulan tambahan anggaran akan dimanfaatkan untuk kegiatan antara lain, penyediaan layanan rujukan akhir bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak dan TPPO, KIE,” ujarnya.
“Kemudian kampanye tentang perilaku antikekerasan, screening dan pendampingan kasus kekerasan pada anak, perlindungan anak di ranah daring, penanggulangan pekerja anak, perlindungan pekerja perempuan, dan pencegahan TPPO, sosialisasi Undang-Undang Kesejahteraan Ibu Anak, peningkatan kapasitas perempuan pelaku usaha, pengembangan ruang bersama Indonesia di 138 desa kelurahan, penguatan pengarusutamaan gender dan hak anak ke Kementerian Lembaga Penanggung Jawab Program Hasil Terbaik Cepat PHTC dan penyediaan sistem layanan pengaduan kekerasan terpadu Sapa 129,” sambungnya.
Lebih lanjut, Arifatul lalu mencontohkan tiga kasus yang terkendala oleh dana. Salah satunya, ialah terkait kasus seorang mahasiswi yang disiram air keras oleh pacarnya di Yogyakarta.
“Sampai saat ini kondisinya masih dalam kondisi memprihatinkan. Ketika kami datang ke Yogyakarta satu setengah bulan yang lalu, dana yang terpakai itu sudah sebesar Rp 400an juta. Karena si korban setiap minggu harus mengganti perbannya. Dan ketika mengganti perban harus dibius total karena saking parahnya kondisi yang dialami,” jelasnya.
Kemudian, kasus kedua ialah seorang mahasiswi yang menjadi korban ojek online di Jawa Barat. Korban mengalami kecelakaan dan dikeroyok.
“Sampai saat ini orang tua korban masih berhutang kepada rumah sakit sampai sekarang belum bisa dilunasi,” ujar Arifatul.
Kasus lainnya, kata dia, ialah seorang anak yang ditelantarkan orang tuanya. Saat ini, anak tersebut masih berada di RS Polri.
Arifatul menjelaskan kondisi anak tersebut telah menjalani tiga kali operasi. Dia mengatakan per 3 Juni 2025, biaya yang telah dipakai sebesar Rp 157 juta.
“Anak ini tidak diketahui orang tuanya di mana, sehingga kami harus mengambil alih apapun yang terjadi harus diselesaikan dulu, diprioritaskan dulu kesehatannya,” jelasnya.
“Jadi sampai sekarang sudah Rp 157 juta, belum lagi tenaga pendamping karena anak ini tidak ada orang tuanya, perawat juga terbatas, sehingga kami juga harus menyediakan perawat tambahan yang mendampingi anak ini 24 jam. Ini harus kami ambil alih walaupun kami belum tahu dananya dari mana,” sambungnya.
(amw/maa)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini