Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan untuk membubarkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). MK menilai pembentukan Kompolnas tak melanggar konstitusi.

    “Menolak permohonan Pemohon II dan Pemohon III untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan perkara Nomor 103/PUU-XXIII/2025 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).


    SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

    Dalam permohonannya, pemohon menilai pembentukan Kompolnas tidak dibatasi oleh perundang-undangan. Selain itu, pemohon menilai fungsi pengawasan Kompolnas terhadap institusi Polri tidak berjalan dengan baik.

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan keberadaan Kompolnas bukan merupakan inkonstitusional, meski tak diatur dalam UUD 1945. Guntur mengatakan kondisi inkonstitusional dapat dimaknai jika norma UU bertentangan dengan UUD 1945.

    “Walaupun keberadaan Kompolnas, dan beberapa lembaga lain, tidak diatur di dalam UUD NRI Tahun 1945 hal demikian tidak lantas menjadikan lembaga-lembaga tersebut termasuk Kompolnas menjadi inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” ujarnya.

    “Dengan kata lain, inkonstitusional atau tidaknya suatu lembaga tidak dapat diukur dari semata-mata tidak maksimalnya lembaga dimaksud dalam menjalankan tugas dan/atau kewenangannya,” sambungnya.

    Guntur mengatakan kinerja Kompolnas yang tidak maksimal dalam melaksanakan tugasnya, tak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan keberadaannya bertentangan dengan UUD 1945. Bahkan, Guntur mengatakan hal itu bukan berarti harus membubarkan Kompolnas.

    “Menurut Mahkamah keberadaan atau pilihan nama lembaga Kompolnas merupakan perwujudan atau hasil dari suatu kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” ujarnya.

    Selain itu, Guntur menilai pemohon tak memberikan penjelasan lebih jauh terkait dalil mempersoalkan konstitusionalitas norma mengenai keberadaan Kompolnas yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres). Sebab itu, Guntur mengatakan jika pemohon hanya mempersoalkan inkonstitusionalitas, maka hal itu tak bertentangan dengan UUD 1945.

    “Namun jika yang dipermasalahkan para Pemohon adalah produk hukum yang dipilih untuk membentuk Kompolnas, yaitu berupa keputusan presiden, menurut Mahkamah hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan hukum pembentuk undang-undang,” paparnya.

    “Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menurut Mahkamah dapat menentukan/memilih apakah dasar hukum pembentukan Kompolnas akan berupa suatu undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden yang tentunya pilihan bentuk peraturan demikian akan disesuaikan dengan substansi/materi terkait Kompolnas,” sambung Guntur.

    Lebih lanjut, Guntur mengatakan terkait dalil pemohon yang menilai Kompolnas tidak melakukan fungsi pengawasan kepada Polri dan tidak ditindaklanjutinya laporan pemohon oleh Kompolnas, bukan merupakan isu konstitusionalitas norma. Hal itu merupakan ranah implementasi norma tugas.

    “Anggapan tidak profesionalnya penanganan pengaduan oleh Kompolnas, seandainya anggapan demikian memang benar terjadi maka dalam batas penalaran yang wajar adalah tidak tepat jika solusinya berupa memohon kepada Mahkamah untuk ‘membubarkan Kompolnas’ dengan cara menyatakan norma Pasal 37 ayat (2) UU 2/2002 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945,” tuturnya.

    “Seandainya memang benar pada Kompolnas terdapat kinerja yang tidak profesional seperti didalilkan para Pemohon, langkah yang lebih tepat menurut Mahkamah bukanlah mempermasalahkan konstitusionalitas lembaga melalui pengujian konstitusionalitas Pasal 37 ayat (2) UU 2/2002, melainkan melakukan evaluasi dan perbaikan pada tata kerja dan/atau tata kelola kelembagaan yang hal demikian bukan merupakan materi UU 2/2002 a quo,” imbuh dia.

    (amw/fca)



    Source link

    Share.