Bandung –
Pembagian bir kepada peserta dalam ajang lari nasional Pocari Run 2025 di Kota Bandung beberapa hari lalu menjadi sorotan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menyayangkan kejadian itu.
Sekretaris MUI Jabar Rafani Achyar menilai peristiwa itu tak hanya keliru dari sisi etika dan agama, tapi juga memberikan pesan yang membingungkan bagi masyarakat luas, terutama umat Islam.
“Kalau soal membagikan bir, itu satu tindakan yang salah menurut saya. Itu tidak boleh terjadi sebetulnya, walaupun ada yang mengklaim bir itu di bawah 20 persen kadar alkoholnya,” ujar Rafani saat diwawancarai, dilansir detikJabar, Rabu (23/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tapi tetap aja bir itu sudah punya konotasi minuman keras, jadi nggak boleh. Dalam Islam, sesuatu yang sudah punya konotasi yang diharamkan itu nggak boleh,” sambungnya.
Menurut Rafani, pendekatan terhadap hal-hal yang berbau syubhat atau abu-abu secara hukum Islam harus dijauhi. Ia mencontohkan fenomena nama-nama makanan ekstrem yang dulu sempat populer, seperti bakso setan. Meski halal, hal itu perlu ditinggalkan karena nama dan konotasinya menyimpang dari nilai-nilai keislaman.
“Baksonya mungkin halal, tapi kalau namanya pakai setan, itu sudah jelas musuh. Dalam Al-Qur’an setan itu musuh yang nyata, dan perlakukanlah sebagai musuh. Sama halnya dengan bir, meskipun mungkin kadar alkoholnya rendah, tetap aja haram diminum itu karena sudah punya konotasi haram,” tegasnya.
Lebih jauh, Rafani menyoroti penyelenggaraan acara yang terlalu menonjolkan nama brand dibanding identitas lokal. Ia menyayangkan penggunaan nama event yang seolah-olah menutupi peran Kota Bandung atau Jawa Barat sebagai tuan rumah.
“Mestinya acara lari itu bukan mengatasnamakan perusahaan. Namanya kan Pocari Run, seharusnya yang dikedepankan itu nama kota, misalnya Bandung Run atau Jawa Barat Run. Di mana-mana juga gitu, seperti Borobudur Marathon,” ujar Rafani.
Ia pun menilai pemerintah daerah seharusnya lebih tegas menjaga identitas dan marwah publik dalam event-event besar seperti ini. “Ini kan seolah-olah perusahaan mengeksploitasi pemerintah daerah. Fasilitas pemerintah dipakai, tapi malah dominasi brand,” ungkapnya.
Baca selengkapnya di sini.
(idh/imk)