Jakarta –
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan, kebijakan penertiban tanah terlantar tidak akan menyasar tanah milik rakyat. Tanah sawah produktif, pekarangan, maupun tanah waris yang dimiliki warga, terutama yang berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) dipastikan aman.
“Yang kami tertibkan bukan tanah rakyat, bukan sawah rakyat, dan bukan tanah waris rakyat. Fokus kami hanya pada HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) berskala raksasa yang dibiarkan menganggur,” kata Nusron dalam keterangan tertulis, Senin (11/8/2025).
Menurutnya, sasaran penertiban adalah HGU dan HGB berskala besar yang luasnya mencapai jutaan hectare namun tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan. Kondisi ini menghambat pemerataan akses dan pemanfaatan lahan bagi masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai catatan, HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara guna kepentingan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan dengan jangka waktu maksimal 35 tahun. Tanah jenis dapat diperpanjang serta diperbarui hingga total 95 tahun. HGU bersifat izin penggunaan, bukan hak milik, sehingga setelah berakhir tanah kembali ke negara.
“Hak ini bersifat izin penggunaan, bukan kepemilikan mutlak. Setelah masa berakhir, tanah kembali menjadi tanah negara atau tanah hak pengelolaan,” jelas Nusron.
Sementara itu, HGB adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang dikuasai negara atau tanah hak milik orang lain dengan jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang serta diperbarui hingga total 80 tahun. Sama seperti HGU, HGB bukan hak milik atas tanah, melainkan hak pakai bersyarat yang diberikan negara atau atas dasar perjanjian dengan pemilik tanah.
Penertiban tanah terlantar ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Regulasi tersebut memberi kewenangan pemerintah untuk mengidentifikasi, menetapkan, dan mengambil kembali tanah yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan dalam jangka waktu tertentu.
Tanah hasil penertiban akan diproduktifkan kembali, antara lain melalui program Reforma Agraria sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lahan tersebut dapat dialokasikan bagi petani gurem, kelompok tani, koperasi, maupun usaha produktif berbasis komunitas.
“Dengan begitu, penertiban ini tidak hanya memulihkan fungsi tanah, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan sebagaimana ditekankan Presiden Prabowo, membuka lapangan kerja, dan mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. Prinsipnya jelas tanah harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan dibiarkan terbengkalai,” tutup Nusron.
(anl/ega)