Jakarta –
Siswa SMK di Koja, Jakarta Utara (Jakut) disiram air keras oleh geng pelajar hingga wajahnya terluka. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut hal ini menunjukkan kondisi darurat kekerasan pelajar.
“Kejadian ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan daruratnya persoalan kekerasan pelajar. Ini bukan lagi sekadar kenakalan remaja, tapi sudah masuk kategori tindak kriminal yang terencana dan sadis. Pelaku tidak hanya menyiapkan alat kekerasan, tapi juga memiliki niat untuk melukai orang lain secara acak. Ini menandakan ada masalah serius dalam cara pandang dan pola pikir anak-anak kita,” ujar koordinator nasional JPPI, Ubaid Matraji kepada wartawan, Selasa (5/8/2025).
Menurutnya, kasus ini adalah cerminan dari kegagalan sistem pendidikan dan perlindungan anak. Sekolah, keluarga, dan lingkungan seharusnya menjadi ruang aman, bukan tempat di mana kekerasan bisa tumbuh subur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pelaku jelas-jelas tidak memiliki empati dan pemahaman akan konsekuensi dari tindakan mereka. Kondisi ini diperparah dengan mudahnya mereka mengakses bahan-bahan berbahaya seperti air keras,” sambungnya.
Ia menambahkan perlu adanya tindakan supaya ada efek jera bagi para pelaku. Salah satunya, pelaku wajib mengikuti program pembinaan.
“Pelaku wajib mengikuti program pembinaan yang fokus pada rehabilitasi mental, konseling psikologis, dan pendidikan karakter. Mereka harus dibina untuk memahami bahaya tindakan mereka dan mengembangkan empati. Ini harus diassesment terlebih dahulu, apa mereka harus ditempatkan di tempat khusus atau bisa sembari sekolah formal seperti biasa,” kata Ubaid.
Kemudian, ia menyarankan sekolah harus lebih serius melakukan pendampingam atas anak-anak di sekolah. Para pelajar tidak hanya didampingi untuk keperluan akademik, tapi juga kondisi mental dan segala hal yang dapat berpengaruh pada keberhasilan belajar di sekolah.
“Memperkuat ekosistem sekolah dan komunitas yang ramah anak. Banyak kasus kekerasan antar pelajar berawal dari perundungan (bullying), intimidasi, atau perasaan terpinggirkan. Lingkungan yang ramah anak akan menciptakan ruang yang inklusif dan setara. Program-program seperti bimbingan konseling yang proaktif, pelatihan anti-perundungan, dan kegiatan ekstrakurikuler yang beragam dapat menyatukan siswa dari berbagai latar belakang. Dengan begitu, rasa solidaritas dan persaudaraan antar siswa akan lebih kuat, sehingga potensi konflik bisa diredamm,” pungkasnya.
Sebelumnya, empat siswa yang terlibat penyiraman air keras terhadap pelajar SMK di Jakarta Utara ditetapkan sebagai tersangka. Keempat siswa tersebut juga ditahan untuk diproses hukum lebih lanjut.
“Satu tersangka usia dewasa, 3 masih di bawah umur. Koordinasi dengan Bapas sudah, termasuk saat pemeriksaan kemarin,” ucap Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Erick Frendriz.
Setelah diinterogasi, ditemukan fakta bahwa para pelajar ini membeli air keras tersebut dengan cara urunan. Cairan kimia itu dibeli untuk tawuran.
Berdasarkan pemeriksaan, para pelaku sudah berniat untuk tawuran. Bahkan mereka berkeliling untuk mencari lawan. Karena tak ada lawan, para pelaku lalu menyiram korban yang saat itu melintas di lokasi.
Korban dan pelaku tidak saling kenal. Korban mengalami sejumlah luka dan harus dirawat karena disiram air keras oleh para pelaku.
(isa/idn)