Jakarta – Wacana normalisasi Kali Angke kembali mencuat usai kunjungan Wakil Presiden Gibran Rakabuming ke lokasi banjir di Ciledug Indah 1, Kota Tangerang, pada Jumat (11/7).
Pengamat Tata Kelola, Rino Wicaksono pun mengapresiasi rencana Gibran yang akan melakukan normalisasi Kali Angke untuk mengatasi banjir di Ciledug. Namun, ia mengimbau agar pendekatannya dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan ahli dan membentuk tim khusus (timsus) lintas kementerian dan daerah.
“Jangan berhenti di inventarisasi dan wacana. Harus konkret, jangan wacana ya, kita sudah keseringan dengar wacana di negara ini. Jadi yang konkret-konkret aja gitu, dengan melibatkan ahlinya yaitu libatkan ahli perencanaan kota, hidrologi, dan teknik sipil. Bentuk tim khusus lintas kementerian dan daerah. Jangan biarkan ini jadi rutinitas tahunan yang terus-menerus merugikan warga,” ujar Rino dalam keterangan tertulis, Selasa (15/7/2025).
Dosen Arsitektur di Institut Teknologi Indonesia (ITI) ini pun menilai upaya normalisasi tak akan berhasil bila dilakukan di satu wilayah saja. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan dengan pendekatan menyeluruh yang melibatkan lintas kota hingga ke hulu sungai.
Pasalnya, lanjut Rino, banjir tahunan di Ciledug bukan sekadar akibat hujan lokal, melainkan juga limpasan air dari wilayah hulu yang tidak tertangani secara terintegrasi.
“Kalau normalisasi Kali Angke hanya dilakukan di Kota Tangerang, tidak akan berhasil. Solusi yang benar adalah mengelola dari hulu hingga ke hilir, mulai dari sumber mata air, menata kawasan bantaran, sampai ke sistem drainase dan pintu air di sepanjang jalur sungai,” tegas Rino.
Perlunya Kerja Sama Lintas Wilayah dan Stakeholder
Rino mengungkapkan sistem pengelolaan banjir saat ini masih belum terkoordinasi dengan baik antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten. Padahal, banjir tidak mengenal batas administratif.
“Penanganan banjir harus lintas wilayah. Kota Tangerang harus bekerja sama dengan Jakarta, Depok, Bogor, bahkan hingga ke kawasan hulu di Jawa Barat. Air itu mengalir, bukan administratif. Jangan sampai yang kebanjiran Tangerang, tapi yang harus membenahi hanya Tangerang,” paparnya.
Terkait hal ini, Rino mengatakan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) di bawah Kementerian PUPR memiliki kewenangan atas sungai dan bantarannya, sementara pemerintah kota menangani wilayah permukiman dan drainase lokal. Namun tanpa sinergi antar pihak, upaya penanganan hanya akan menjadi tambal sulam.
Rino juga menekankan pentingnya melakukan pemetaan topografi, kontur, dan kondisi tanah di wilayah terdampak. Sebab, banyak wilayah di Tangerang mengalami penurunan kemampuan resapan tanah akibat pembangunan masif tanpa mempertimbangkan kapasitas lingkungan.
“Kita perlu tahu di mana titik terendah, bagaimana jalur aliran air, tanah mana yang jenuh, mana yang masih bisa menyerap. Tanpa itu, solusi kita bisa salah sasaran. Data hidrologi dan hidrogeologi harus jadi dasar perencanaan,” jelasnya.
Rino juga mengusulkan agar kanal yang dinormalisasi difungsikan ganda sebagai long storage, yakni kanal dalam yang mampu menampung air hujan dalam jumlah besar dengan sistem pintu air yang dikendalikan secara strategis.
Ia mengatakan praktik ini telah sukses dilakukan di negara-negara seperti Belanda, Jepang, hingga kota-kota di Amerika Serikat.
“Kanal jangan cuma dalam dan lebar, tapi harus bisa dikontrol. Bisa dibuka-tutup saat musim hujan dan kering. Bahkan bisa jadi transportasi, budidaya ikan, atau tempat wisata. Ini bisa menjadi aset kota, bukan sekadar saluran air,” jelasnya.
Di samping itu, pendekatan Sosial dan Partisipatif juga diperlukan, lebih dari sekadar proyek fisik. Oleh karena itu, Rino menekankan penanganan banjir harus melibatkan masyarakat sebagai bagian dari solusi, bukan objek semata.
“Harus ada dialog. Jangan hanya data dan pendataan. Harus ada rembuk warga, participatory planning. Seperti program 3M di Jogja: Mundur, Munggah, Madep Kali. Warga diajak untuk menata ulang permukiman di bantaran sungai,” paparnya.
Dengan keterbatasan anggaran pemerintah, Rino menyarankan agar penanganan banjir dibuka untuk investasi publik-swasta dalam Public Private Partnership (PPP).
Menurutnya, infrastruktur seperti kanal dan sistem drainase bisa menjadi bagian dari kerja sama yang juga memberi manfaat ekonomi bagi investor maupun UMKM lokal.
“Kalau kita hanya berharap dari APBN dan APBD, tidak akan cukup. Tapi kalau kita tawarkan kanal sebagai peluang bisnis dan pariwisata, investor akan tertarik. Yang penting sistemnya transparan dan kolaboratif,” pungkasnya.
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini