Jakarta –
Kementerian Kebudayaan meluncurkan salah satu program unggulan tahun ini, SANFFEST 2025 (Santri Film Festival), hari ini. Berlangsung di Pondok Pesantren Darunnajah, Ulujami, Jakarta Selatan, festival ini hadir dengan mengusung tema ‘Dari Jendela Santri, Memandang Dunia’, untuk menegaskan bahwa santri tidak hanya pewaris tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga aktor kunci dalam diplomasi kebudayaan Indonesia.
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, mengemukakan bahwa SANFFEST 2025 bukan sekadar ajang perfilman, melainkan gerakan budaya yang menjadikan pesantren sebagai pusat inspirasi peradaban dunia. Kementerian Kebudayaan ingin meningkatkan potensi dan talenta di dunia pesantren. Di Indonesia, terdapat lebih dari 42.000 pesantren, mungkin jumlah terbanyak di dunia.
“Film adalah medium unik, karena di dalamnya terdapat banyak cabang seni: akting, sastra, musik, fesyen, kuliner, dan sebagainya. Ini menjadikannya sarana efektif untuk menyampaikan nilai, termasuk nilai dakwah. Dan film adalah soft power. Negara-negara maju menyadari kekuatan budaya untuk mempengaruhi secara halus,” ujar Fadli dalam keterangannya, Minggu (7/9/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui SANFFEST 2025, kekayaan tradisi pesantren yang telah eksis berabad-abad dikenalkan kembali kepada publik, tidak hanya sebagai warisan lokal, tetapi juga sebagai diplomasi kebudayaan yang menjembatani Indonesia dengan dunia. Festival ini menjadi wadah kreatif bagi para santri untuk mengekspresikan pandangan mereka lewat film, sekaligus memperkaya khazanah kebudayaan global.
Fadli menyampaikan harapan bahwa tradisi pesantren yang berabad-abad dapat dikenal luas sebagai ujung tombak keragaman budaya Indonesia, bahkan menjembatani Indonesia ke dunia. Menurutnya ini karena film dapat menjadi medium dakwah dan memiliki kekuatan soft power.
Selain itu, Fadli turut menyampaikan keyakinannya, dengan jumlah pesantren yang besar akan muncul banyak talenta dari dunia pesantren. Film, musik, dan seni lainnya bisa menjadi medium dakwah. Menurutnya sejak tahun 1987, seminar tentang musik sebagai media dakwah sudah dilakukan, dan terbukti hingga kini masih sangat relevan.
“Dakwah Islam selalu berdialog dengan tradisi. Wayang, keris, dan budaya lokal lain dipakai sebagai media dakwah oleh para wali dan ulama. Islam tidak menghancurkan tradisi, melainkan merangkul esensi nilainya,” jelasnya.
“Saya berharap SANFFEST menjadi festival film santri yang berkelanjutan. Juga nantinya akan ada lokakarya, manajemen talenta film, pelatihan skenario, dan pembinaan komunitas film di pesantren. Pesantren punya posisi penting dalam pelestarian dan pengembangan budaya,” tambahnya.
Adapun Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, K.H. Sofwan Manaf, pada sambutannya turut menyampaikan bahwa masih ada tantangan, terutama dalam menghadapi perkembangan zaman dan teknologi.
“Alhamdulillah, dengan adanya UU Pesantren tahun 2019, kini perhatian dari pemerintah tidak hanya sebatas mendengar, tapi juga memberikan bantuan nyata. Anak-anak kita di pesantren sekarang bukan hanya belajar ilmu agama. Mereka juga diajarkan ilmu umum, psikologi, teknologi, dan bahkan perfilman. Ini penting, karena perfilman adalah bagian dari kemajuan teknologi dunia, dan kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap hal ini,” pungkas K.H Sofwan Manaf.
Sekadar diketahui, SANFFEST merupakan festival film santri pertama di Indonesia yang didedikasikan untuk menampilkan karya kreatif komunitas pesantren. Sejak awal digagas, SANFFEST mengusung misi memperkenalkan nilai, tradisi, dan cara pandang santri kepada masyarakat luas, baik di tingkat nasional maupun internasional, melalui medium film.
Program SANFFEST 2025 akan menampilkan beragam karya film santri dari seluruh Indonesia, diskusi panel, lokakarya perfilman, serta forum internasional untuk membuka ruang kolaborasi global. Dengan demikian, festival ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia, khususnya pesantren, sebagai salah satu pilar kebudayaan dunia.
SANFFEST hadir sebagai inisiatif strategis dari Kementerian Kebudayaan. Program ini lahir dari kesadaran bahwa film adalah bahasa universal yang paling efektif untuk menyebarkan pesan damai, nilai-nilai luhur, dan hikmah kehidupan. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab dan potensi besar untuk menjadi produsen utama konten dan film tentang Islam yang berkualitas, berkelas, dan inspiratif di panggung global.
Melalui program ini, Kementerian Kebudayaan bertujuan untuk membangun ekosistem kreatif, yakni membuka jalan bagi santri untuk menjadi talenta baru di industri film, mulai dari penulis skenario, sutradara, hingga produser.
Selain itu, tujuan berikutnya adalah mengukuhkan narasi damai dengan menggunakan film sebagai media syiar Islam yang modern dan relevan, mematahkan stereotip, dan membangun narasi positif tentang kehidupan pesantren yang penuh ilmu, toleransi, dan keindahan.
Tujuan terakhir yakni menjadikan film sebagai senjata diplomasi budaya dengan menghadirkan karya-karya sinematik yang kuat sebagai representasi peradaban Islam Indonesia, menjadikannya alat diplomasi untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara adidaya budaya di dunia muslim dan global.
Sebagai informasi, acara ini turut dihadiri Ricky Kurniawan, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Direktur Film, Musik, Seni, Syaifullah Agam; Ketua Komisi III Bidang Sosialisasi, Penelitian dan Pengembangan, dan Hubungan Antarlembaga, Lembaga Sensor Film (LSF), Kuat Prihatin; sutradara film Gunawan Paggaru; seniman Neno Warisman; novelis Ahmad Fuadi; seniman Adi Bing Slamet; beserta jajaran pengurus Pondok Pesantren Darunnajah.
(prf/ega)