Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer (Noel) berharap amnesti dari Presiden Prabowo Subianto usai ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Noel disarankan untuk berkaca diri oleh mantan penyidik KPK.
Noel ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lainnya dalam kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikasi K3. KPK menduga Noel menerima jatah pemerasan Rp 3 miliar 2 bulan usai dilantik.
Modusnya, menurut KPK, para pihak yang hendak mengurus penerbitan sertifikat K3 kepada perusahaan K3 diharuskan membayar lebih mahal daripada biaya resmi. KPK menyebutkan biaya resmi seharusnya cuma Rp 275 ribu, namun pihak yang mengurus sertifikasi diperas sehingga harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Total pemerasan diduga telah mencapai Rp 81 miliar. Duit itu kemudian mengalir kepada sejumlah pihak. Salah satu yang diduga menerimanya ialah Noel.
“Sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara, yaitu saudara IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan) sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di gedung KPK, Jumat (22/8).
Noel sempat berharap diberi amnesti oleh Prabowo. Harapan itu disampaikannya saat digiring ke mobil tahanan KPK.
“Semoga Pak Prabowo memberi saya amnesti,” kata Noel di gedung KPK, usai KPK merilis kasus.
Istana juga telah menegaskan Presiden Prabowo tidak akan memberi amnesti terkait OTT Noel. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan Prabowo tidak akan memberikan amnesti kepada anak buah yang terlibat korupsi.
“Presiden juga pernah menyampaikan tidak akan membela bawahannya yang terlibat korupsi. Jadi kita serahkan saja sepenuhnya pada penegakan hukum,” kata Hasan kepada wartawan, Sabtu (23/8).
Noel Diminta Ngaca Diri
Permohonan amnesti Noel itu disoroti sejumlah pihak. Salah satunya dari mantan penyidik senior KPK, Harun Al Rasyid. Dia menyindir keras sikap mantan Wamenaker itu.
“Terkait kasus Wamenaker, mestinya para tersangka mulai berkaca diri bahwa tidak semua perilaku koruptif itu harus mendapatkan ampunan dari Presiden,” kata Harun saat dihubungi, Minggu (24/8).
Harun mendukung sikap Presiden Prabowo Subianto yang tidak akan membela anak buahnya apabila terbukti melakukan korupsi. Dia berharap Prabowo selektif dalam menggunakan haknya dalam pemberian amnesti terhadap tersangka.
“Pastinya Presiden harus sangat selektif dalam mengeluarkan hak istimewanya dalam memberikan abolisi dan semacamnya,” ujar Harun.
Harun juga mengapresiasi operasi tangkap tangan KPK yang berhasil menangkap pejabat setingkat Menteri. Mantan penyidik KPK yang dijuluki raja OTT ini menilai KPK mulai kembali menemukan taringnya.
“Memang kalau OTT itu ada masa menanam dan ada masa menuainya, setelah sekian lama menanam akhir-akhir ini datang masa tuai atau panen tersebut,” ungkap Harun.
KPK Bicara Efek Jera
KPK juga memberikan tanggapan. KPK mengatakan pentingnya memberikan efek jera kepada pelaku korupsi lewat penegakan hukum yang maksimal.
“Kita penting melihat kembali esensi penegakan hukum yang memberikan efek jera para pelakunya dan rasa keadilan bagi masyarakat. Penegakan hukum yang serius juga sekaligus menjadi cermin komitmen negara dalam pemberantasan korupsi,” kata jubir KPK Budi Prasetyo saat dihubungi, Minggu (24/8).
Budi mengatakan KPK juga tidak hanya akan fokus pada aspek penindakan hukum. Dia menyebut KPK juga akan menguatkan aspek pencegahan korupsi di sektor ketenagakerjaan.
“Tentunya kita berharap tidak berhenti pada proses penegakan hukumnya saja, fakta-fakta masih terbukanya celah terjadinya korupsi dalam pelayanan publik khususnya pada sektor ketenagakerjaan ini juga harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pencegahannya,” ujar Budi.
Menurut Budi, pada aspek pencegahan, KPK telah rutin melakukan survei penilaian integritas (SPI) dengan objek pengukuran ialah seluruh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan beberapa BUMN.
Dia menyebut lewat survei itu KPK telah menemukan potensi celah korupsi pada suatu institusi, sekaligus memberikan rekomendasi perbaikan tata kelolanya.
“Survei ini melibatkan responden internal pegawai, masyarakat pengguna layanan dan pemangku kepentingan terkait, dan kalangan expert. Sehingga temuan, hasil, dan rekomendasinya sangat objektif. Survei tersebut termasuk untuk Kementerian Ketenagakerjaan,” jelas Budi.
Halaman 2 dari 3
(lir/rfs)