Wahana Musik Indonesia (WAMI) menilai pesta pernikahan perlu membayar royalti jika memutar atau menyanyikan lagu komersial. Sontak pernyataan itu mendapatkan kritik dari legislator.
Head of Corcomm WAMI Robert Mulyarahardja mengatakan musik atau lagu dengan hak cipta yang diputar atau dinyanyikan di pesta pernikahan berhak menerima royalti. Hal itu karena dianggap sebagai ruang publik.
“Ketika ada musik yang digunakan di ruang publik, maka ada hak pencipta yang harus dibayarkan. Prinsipnya seperti itu,” kata Robert saat dihubungi detikcom, Selasa (12/8).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum (Kemenkum) mengingatkan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Hal ini berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium atau layanan streaming lainnya.
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Agung Damarsasongko menjelaskan bahwa langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik. Hal tersebut diungkapkan olehnya saat di Kantor DJKI, Jakarta Selatan, hari ini.
“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah,” kata Agung dalam keterangan tertulis, Senin (28/7/2025).
Komisi XIII DPR Tak Setuju
Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mengaku tak setuju dengan kewajiban membayar royalti jika memutar lagu saat acara pernikahan. Willy menilai pemutaran lagu dari musik berlisensi di acara pernikahan harus dilihat sebagai penggunaan untuk kegiatan sosial, sehingga tak ada unsur komersial.
“Ini tidak perlulah ditakut-takuti dengan ancaman membayar royalti karena kegiatan demikian tidak ada sifat komersil di dalamnya,” kata Willy dalam keterangannya, Kamis (14/8/2025).
Willy mengaku sepakat dengan adanya revisi UU Hak Cipta. Dia mengatakan polemik tentang royalti lagu ini telah menimbulkan berbagai dampak sosial dan hukum.
“Tampilan yang demikian ini bukan tampilan khas kultur Indonesia yang gotong royong dan musyawarah,” kata Willy.
Menurutnya, perlu ada pengaturan yang jelas dan tegas mengenai persoalan royalti lagu. Adapun revisi UU Hak Cipta saat ini tengah dibahas oleh DPR.
“Saya setuju bahwa perlu ada pengaturan yang tegas dan jelas dari Royalti di dalam perubahan UU Hak Cipta ke depan. Hal ini memang menjadi salah satu yang diwacanakan akan dibahas oleh Komisi X DPR,” jelasnya.
Waka Komisi X Nilai Wajar Pencipta Dapat Royalti
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyoroti kegaduhan pungutan royalti lagu di kafe hingga ruang publik. Lalu menganggap pencipta lagu wajar dapat royalti karena untuk menghargai karyanya.
“Dalam konteks pemutaran lagu di kafe, restoran, atau ruang publik, penting untuk menekankan bahwa musik adalah ekspresi budaya yang lahir dari kreativitas seniman. Sehingga wajar apabila pencipta memperoleh penghargaan dan imbalan yang layak atas karyanya,” kata Lalu saat dihubungi, Kamis (14/8/2025).
Lalu mengatakan hak cipta lagu bukan semata-mata perkara hukum, melainkan perlindungan dan penghargaan terhadap karya seni itu sendiri. Komisi X, kata dia, mendukung edukasi publik tentang hak cipta tersebut.
“Komisi X tentu saja mendukung edukasi publik mengenai kesadaran hak cipta, khususnya bagi pelaku usaha, agar tercipta budaya menghargai karya dan hak seniman,” ujarnya.
Namun demikian, Lalu menambahkan pendekatan edukatif perlu diperhatikan dalam kasus tersebut. Dia menegaskan pentingnya budaya saling menguntungkan antara seniman dan masyarakat.
“Pendekatan yang humanis dan edukatif perlu diprioritaskan agar penegakan hak cipta tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai upaya membangun ekosistem kebudayaan yang sehat, berkelanjutan, dan saling menguntungkan antara seniman dan masyarakat,” jelasnya.
Halaman 2 dari 3
(azh/azh)