Surat Terbuka untuk Orangtua Generasi Boomer (Foto: Freepik)

    JAKARTA – Sebuah surat terbuka yang ditulis oleh Avery menjadi sorotan di dunia maya. Surat ini ditujukan untuk para orang tua dari Generasi Boomer, namun memiliki pesan yang relevan bagi semua generasi. Dengan bahasa yang penuh rasa hormat, namun juga jujur, Avery mengungkapkan dinamika hubungan antara generasinya dengan generasi orang tua mereka.

    Avery memulai dengan pengakuan bahwa menulis surat ini bukanlah hal mudah. Ia khawatir tulisannya akan dianggap sebagai serangan pribadi atau memperuncing narasi “kita versus mereka” di antara generasi. Namun, pengalaman pribadi serta cerita teman-teman sebayanya mendorongnya untuk menuliskan isi hati.

    Ia menggambarkan bahwa generasi Boomer tumbuh di era yang menuntut keteguhan hati. Harga rumah relatif terjangkau, namun bunga pinjaman tinggi. Pekerjaan tersedia, tetapi tidak selalu stabil. Mereka diajarkan untuk bekerja keras, berkorban demi masa depan, dan tidak menonjolkan diri secara berlebihan.

    Nilai-nilai itu, kata Avery, turut diwariskan kepada generasi muda. Ia sendiri bersyukur karena masa kecilnya terlindungi berkat pengorbanan orang tuanya. “Sewa rumah sudah dibayar, kulkas penuh, dan mereka tetap datang ke pertunjukan sekolah saya meski lelah bekerja,” tulisnya.

    Namun, Avery juga menekankan bahwa masa depan kini tampak berbeda. Generasi muda hidup di tengah krisis iklim, harga properti yang semakin tidak terjangkau, serta biaya hidup yang terus naik sementara pendapatan stagnan. Dalam kondisi ini, kata Avery, strategi bertahan hidup yang diajarkan generasi sebelumnya tidak selalu relevan.

    Avery mengungkapkan adanya “penerjemah kejam” yang kerap memisahkan makna antara orang tua dan anak. Ketika ia mengungkapkan kekhawatiran tentang planet ini, orang tua mendengarnya sebagai tuduhan. Sebaliknya, ketika orang tua mengatakan anak harus bekerja lebih keras, ia mendengarnya sebagai ketidakpercayaan terhadap usahanya.

    Meski begitu, Avery mengakui bahwa perbedaan ini tidak berarti kurangnya kepedulian. “Mungkin saja cara kita menyampaikan kekhawatiran berbeda,” tulisnya. Ia pun mengajak para orang tua untuk membuka ruang dialog tanpa prasangka, melihat perbedaan pandangan sebagai undangan untuk saling memahami, bukan untuk saling menyalahkan.

    Surat tersebut juga memuat refleksi tentang tantangan generasi Boomer sendiri. Tekanan untuk menikah di usia tertentu, memiliki anak tanpa memedulikan keinginan pribadi, serta bertahan di pekerjaan yang tidak disukai demi stabilitas, semuanya diakui Avery sebagai beban yang juga patut dihargai.

     



    Source link

    Share.