Jakarta –
Kejaksaan terus berupaya untuk mengedukasi masyarakat terkait restorative justice (RJ) kepada masyarakat. Upaya edukasi yang dilakukan pun tidak hanya di wilayah perkotaan saja, namun juga berbagai daerah di seluruh Indonesia, salah satunya Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan.
Kepala Seksi Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Negeri Jeneponto Kasmawati Saleh mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mengedukasi warga terkait dengan restorative justice. Sebab, tidak semua kasus bisa menggunakan pendekatan restorative justice.
“Ada beberapa kasus juga yang tidak bisa di restorative justice kan, misalnya kasus yang mengganggu keamanan negara, kasus asusila, kasus tindak pindahan lingkungan hidup, atau kasus tindak pidana korupsi, kasus tindak pindahan pemilu itu tidak bisa di restorative justice-kan,” kata Kasmawati kepada detikcom beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan untuk menggunakan restorative justice perlu melihat latar belakang dari perkara yang sedang berlangsung. Sebab tidak semua perkara bisa menggunakan restorative justice.
“Walaupun antara kedua belah pihak antara saksi korban dengan tersangka itu mereka berdamai, kita juga harus melihat latar belakang mereka melakukan tindak pidana, karena tidak semua juga perkara kita bisa RJ kan. Misalnya melakukan tindak pidana pencurian, tujuannya itu untuk membeli sabu-sabu, ataukah tujuannya untuk minum-minuman keras, itu tidak kami RJ kan,” jelasnya.
Kasmawati mengatakan restorative justice juga hanya bisa digunakan sekali untuk mereka yang sedang berperkara. Jika kasus serupa terulang dan dilakukan oleh orang yang sama maka restorative justice tidak bisa digunakan kembali.
“Kita juga kadang-kadang menekankan kepada mereka bahwa kegiatan RJ ini hanya diberikan kesempatan sebanyak satu kali, manakala melakukan lagi tindak pidana, walaupun kedua belah pihak berdamai, kita tidak ada lagi kegiatan RJ bagi pelaku,” ungkapnya.
Dia menjelaskan kehadiran restorative justice juga bertujuan agar seluruh perkara yang ada di kejaksaan tidak berakhir di meja hijau. Namun penggunaan restorative justice juga harus mempertimbangkan dari pihak korban dan tersangka.
“Kita kenalkan ini ada namanya restorative justice, jadi tidak semuanya masalah atau yang dibawa ke kejaksaan itu harus berakhir di meja hijau, tetapi kita bisa juga mendamaikan di level kejaksaan. Selain itu kita mensosialisasi, tercapai juga kesepakatan damai antara pihak korban dan tersangka, tujuannya juga untuk kita mengetahui juga tanggapan masyarakat, ini kan harus juga, restorative justice ini harus memberikan stigma positif bagi masyarakat,” tuturnya.
“Jangan sampai kita lakukan kegiatan RJ ini, ada masyarakat yang tidak setuju apabila mereka berdamai, itu juga kita harus pertimbangkan. Jadi benar-benar ini mengembalikan kepada keadaan semula, ini bukan hanya pihak kasih korban dengan pihak tersangka, tetapi juga pihak masyarakat bagaimana ini kondisi sekitar masyarakat setelah kejadian ini kembali menjadi harmonis,” tutupnya.
detikcom bersama Kejaksaan Agung menghadirkan program khusus yang mengungkap realita penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Program ini tidak hanya menyorot upaya insan kejaksaan dalam menuntaskan kasus, namun juga mengungkap kisah dari dedikasi dan peran sosial para jaksa inspiratif.
Program ini diharapkan membuka cakrawala publik akan arti pentingnya institusi kejaksaan dalam kerangka pembangunan dan penegakan supremasi hukum di masyarakat. Saksikan selengkapnya di sini.
(akd/akd)