Komisaris Besar (Kombes) Darmanto dikenal koleganya sebagai perwira polisi yang sederhana. Namun, Kombes Darmanto sendiri biasa saja, dia tidak merasa hidupnya sederhana. Mari mengenal lebih dekat Kombes Darmanto.
Pagi hari di Kota Sukabumi, Darmanto lebih dulu menyapa detikcom yang tiba di Gedung Saleh Sastranegara, Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa), Jl Bhayangkara, Kecamatan Gunungpuyuh. Dia erat menjabat tangan, disertai senyum ramah.
Namun tak lama kemudian, dia segera beringsut ke kelas karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Dia harus mengisi kelas hak asasi manusia (HAM). Di dalam, ada 25 orang polwan calon perwira yang siap mengikuti pelajaran dari pria 56 tahun kelahiran Cilacap ini.
Darmanto yang menjadi kandidat Hoegeng Awards 2023 ini adalah tenaga pendidik (gadik) sekaligus Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan (Kabagdiklat) Setukpa di bawah Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri. Di Setukpa ini, dia mengajar HAM, juga pelajaran restorative justice, budaya antikorupsi, hingga soal manajemen polsek.
Seorang kolega Darmanto dari Kulonprogo bersaksi bahwa Darmanto adalah polisi sederhana dengan rumah sederhana dan kendaraan sederhana. Jumat (31/3), detikcom berkesempatan memverifikasi dari dekat soal seberapa sederhana Darmanto sebenarnya. Saat jeda mengajar, dia membawa detikcom ke rumahnya. Dia menyetir sendiri, tanpa ajudan.
“Sederhana ya nggak juga kali ya. Orang kalau sudah pakai mobil berarti sudah nggak kategori sederhana lah,” kata Darmanto di balik kemudi.
Mobil ini adalah Honda Brio Satya E, mobil yang masuk kategori LCGC atau ‘murah dan ramah lingkungan’. Dia mengaku membelinya bukan dari diler, tapi beli bekas dengan cara kredit. Membandingkan dengan rekan sesama kombes, ada juga yang mengendarai mobil lebih mahal. Darmanto menduga itu karena si kombes yang lain kebetulan punya warisan atau dari orang tua yang kaya. Namun bagi Darmanto, yang penting dia bisa bepergian tanpa kehujanan.
Kombes Darmanto di Sukabumi (Danu Damarjati/detikcom)
|
“Meskipun saya kombes kayak gini, mobil saya ini juga kredit tadinya. Sudah tiga tahun yang lalu, tapi kreditnya seken saja sih, bukan dari toko tapi dari orang jadi harganya murah,” kata dia.
Setelah 8 km perjalanan, dia memarkirkan mobil abu-abunya itu di halaman rumah kawasan Kelurahan Limusnunggal, Kecamatan Cibeureum, Kota Sukabumi. Ada rumah menjulang dua lantai dengan patung durian raksasa di halaman.
“Mas, bukan itu rumah saya. Itu rumah tetangga saya. Ini rumah saya,” kata Darmanto di halaman rumah yang berukuran lebih kecil.
Kombes Darmanto di Sukabumi (Danu Damarjati/detikcom)
|
Rumah Darmanto jauh dari kata mewah. Setelah ruang tamu, ada ruang tengah disambung dengan dapur dan meja makan, serta kamar-kamar di sampingnya. Panjang rumah ini sekitar 10 langkah normal pria dewasa. Dia menjelaskan soal rumah yang asri dihiasi tanaman hias ini.
“Dulu masih murah, saya beli tahun 2003-2004 itu tanahnya 300 meter persegi ada rumahnya cuma Rp 27 juta kok. Tapi, dulu masih di tengah sawah, belum ada tetangga. Sekarang lingkungan ini sudah padat sekali,” kata Darmanto.
Rumah Darmanto cenderung mungil dibanding dengan luas keseluruhan lahannya di sini. Di lahannya, ada PAUD dan juga musala.
PAUD di lahan rumah Kombes Darmanto (Danu Damarjati/detikcom)
|
Musala di lahan Kombes Darmanto. (Danu Damarjati/detikcom)
|
Menengok LHKPN Darmanto tanggal 16 Oktober 2013, Darmanto yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim, dia punya tanah seluas 303 meter persegi di Kota Sukabumi dengan nilai NJOP Rp 200 juta, juga tanah seluas 615 meter persegi di Kota Sukabumi dengan nilai NJOP Rp 250 juta. Total harta kekayannya Rp 973.070.000,00.
Dia tinggal di rumah ini bersama istrinya saja karena tiga anaknya sudah tidak lagi di sini. Dua anak yang pertama sudah berkeluarga, anak terakhirnya masih kuliah di Yogyakarta. Sebenarnya, dia punya rumah dinas namun tidak dia tempati.
Untuk kendaraan yang tercantum di LHKPN tahun 2013, Honda Brio belum ada. Kendaraan yang tercatat adalah sepeda motor Yamaha Mio, Suzuki Satria FU, mobil Toyota Starlet tahun pembuatan 1996, dan Mitsubishi Colt tahun 2013.
detikcom sempat melongok ke halaman rumah Darmanto. Ada mobil antik terparkir di pekarangan. Itu adalah mobil GAZ-69 bikinan Uni Soviet, peninggalan TNI era Orde Lama. Dia menjelaskan, itu adalah mobil inventaris bekas dari Brigjen Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa yang mengawal Presiden Sukarno, dan akhirnya dituduh terlibat G30S/PKI.
“Saya ini tidak beli. Yang beli dulu anggota saya ke yang punya mobil. Karena anggota saya merasa nggak nyaman, katanya dulu banyak bawa mayat, maka mobil itu dikasih ke saya,” kata Darmanto.
Mobil GAZ-69 bikinan Uni Soviet di pekarangan Kombes Darmanto. (Danu Damarjati/detikcom)
|
Di LHKPN tahun 2013, Darmanto tercatat punya peternakan, perkebunan, warnet, hingga usaha dagang dengan total nilai Rp 377.570.000,00. Itu adalah laporan kekayaan tahun 2013. detikcom mengecek di situs LHKPN namun tidak berhasil menemukan LHKPN Darmanto yang lebih baru. Apakah Darmanto tidak melapor LHKPN lagi setelah 2013?
“Iya. Saya sebenarnya sudah mengisi lagi sih saat tahun-tahun waktu saya jadi penyidik deh. Untuk tahun ini nggak diminta. Biasanya yang diminta pejabat yang ada anggarannya. Kalau kita masuk jadi penyidik ya diminta lagi (mengisi LHKPN),” kata Darmanto.
Benarkah menolak jabatan tinggi?
Kolega Darmanto di Kulonprogo, Sarijo, menyatakan Darmanto menolak naik jabatan karena sikapnya yang sederhana. Sarijo mengamati karakter Darmanto saat Darmanto menjabat sebagai Kapolres Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun 2009.
Darmanto memberikan klarifikasinya. Dia mengaku tidak mengerti cerita itu karena selama ini dia sudah berhasil meraih pangkat Komisaris Besar, sedangkan banyak rekan-rekannya yang kesulitan meraih pangkat itu. Namun soal naik jabatan, dia tidak tertarik karena merasa pekerjaan dia sekarang sebagai pendidik sudah cukup berat.
“Kalau orang lain kan berpikir, itu (naik jabatan) merupakan tantangan atau yang begitu-begitu loh, semacam, ‘Wah itu harus jadi peluang dan tantangan’. Kalau saya kan sadar diri. Jadi kombes begini saja sudah berat dan harus berjuang. Apa iya kalau saya dapat jabatan yang lebih lagi saya akan mampu dalam tantangan-tantangan itu?” kata Darmanto.
Soal naik pangkat menjadi jenderal, dia sempat mendengar ada orang yang menawarkan kepadanya kemudahan. Namun dia tak tertarik bila harus menempuh pendidikan di luar Sukabumi.
“Kalau saya mau naik pangkat lagi, apa iya saya bisa? Atas dasar itu, ya sudah lah, ngapain aku? Tinggal bagaimana cari pekerjaan yang kira-kira kerjanya sedikit tapi manfaatnya luas. Banyak yang merasakan manfaat dari pekerjaan itu loh,” kata Darmanto.
Memilih tetap di Sukabumi
Darmanto sudah bekerja di Setukpa Sukabumi sejak 1998. Sejak saat itu, dia merasa Sukabumi sebagai tempat yang nyaman, lebih adem ketimbang kota-kota dinas lain yang pernah dia singgahi yakni Surabaya, Semarang, atau Jakarta.
Pernah sekali waktu, ada yang menawarkan jabatan kepadanya dengan bertanya apakah Darmanto ingin menjadi direktur tertentu di kepolisian atau tidak. Darmanto menduga ini bisa jadi tawaran betulan atau bisa juga sekadar basa-basi. Namun yang jelas saat itu, Darmanto mengutarakan keinginannya.
“Ya kan ditawarin aja, mau kemana? Saya mau ke Sukabumi aja,” kata Darmanto.
Kabag Diklat Setukpa Lemdiklat Polri Kombes Darmanto. Foto: dok. istimewa
|
Apapun itu, dia merasa keinginannya dikabulkan oleh Allah SWT lewat perantara keputusan pimpinan instansinya, yakni dia ditempatkan di Sukabumi, lagi dan lagi, bahkan setelah menjabat di Bareskrim Polri.
“Yang penting kan tidak menyuap. Kalau hanya ngomong kan boleh, mengutarakan keinginan kan boleh. Prinsipnya, pembinaan personel memang begitu. Organisasi berusaha memenuhi keinginan anggotanya. Itu dasar pembinaan personel. Diupayakan agar keinginan anggota terpenuhi. Tapi, tidak semuanya bisa terpenuhi karena ada kepentingan dinas, kompetensi, keahlian, dan kebutuhan organisasi,” tuturnya.
Dia juga merasa lebih berguna bila bekerja lewat jalur pendidikan di Lemdiklat ini ketimbang menjadi penyidik. “Wong gajinya sama, remunerasinya sama. Di sini saya bisa tenang. Saya pikir lebih banyak yang bisa saya lakukan di sini untuk kepolisian. Ketimbang saya di tempat lain, padu thok (adu mulut saja). Daripada padu (adu mulut) terus sama kumendan, yo wis (ya sudah),” kata Darmanto, setengah bercanda.
Pengalaman di Kulonprogo
Kesaksian Sarijo, kepala desa di Kulonprogo tempat Darmanto pernah bertugas, menunjukkan kadar integritas Darmanto. Sarijo menjelaskan bahwa suatu perusahaan pernah hendak memberikan uang penghargaan ke Darmanto namun Darmanto mengarahkan agar uang itu diberikan ke pihak yatim-piatu dan dhuafa. Benarkah cerita ini?
“Ya kan namanya juga Kapolres. Ya dia ngasih, ya gimana ya, tapi kemudian ada yang lebih butuh lah, kasihin sana-sana aja lah. Kalau perasaan saya, sejak saya dinas di Surabaya, nggak ada deh kelompok-kelompok yang ngasih ke saya. Saya Kapolres kayaknya juga nggak ada deh yang setor-setor ngasih begitu,” kata Darmanto.
Justru, kadang-kadang pihak masyarakat yang meminta sumbangan ke polisi termasuk dirinya saat menjabat di daerah-daerah. Padahal, tidak ada anggaran Polri untuk menyumbang segala macam peruntukan. Bila dia harus mengeluarkan uang pribadi, penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Soal penghasilan, dia menghubungi stafnya untuk mendapatkan angka terperinci mengenai uang yang dia dapatkan dari pekerjaannya. Berikut adalah rincian angkanya dari penghasilan rutinnya saat ini:
Gaji pokok: Rp 5.243.400,00.
Tunjangan jabatan: Rp 2.025.000,00.
Lauk pauk: Rp 1.680.000,00.
Tunjangan kinerja/ remunerasi: Rp 8.562.000,00.
TOTAL: Rp 17.510.400,00.
Dia mengemban amanat mencetak perwira-perwira berintegritas. Meski demikian, dia menyadari polisi yang ideal masih perlu terus berusaha diwujudkan, di tengah citra buruk yang melekat melalui pemberitaan polisi yang berkasus.
“Jadi polisi itu berat soalnya. Kudu cerdas, godaannya lebih gede,” kata dia.
Selanjutnya, Kombes Darmanto di mata tetangga: