Jakarta –
Tulisan indah berbahasa Arab, umumnya mengacu pada ayat Al Quran dan hadits, merupakan karya seni yang kerap ditemukan di banyak tempat. Mulai dari di interior masjid, pajangan rumah, hingga di medium advertorial seperti brosur, buku, dan lain sebagainya.
Tak heran, hal ini memang selaras dengan tujuan kaligrafi. Menurut kaligrafer dan pendiri Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA), Didin Sirojuddin AR, setidaknya ada lima tujuan kaligrafi. Yaitu tujuan kelimuan, tujuan pengajaran, tujuan praktis, serta tujuan estetis.
Kaligrafi dengan tujuan praktis dan tujuan estetis memberi ruang bagi karya seni ini untuk tetap memiliki tempat di pasar kesenian. Oleh karena itu, Didin terus mendorong peserta didik LEMKA untuk memasukkan karya-karya mereka di berbagai kesempatan.
“Pelajaran yang kita berikan itu adalah juga pelajaran yang memungkinkan karya-karya itu bisa lari ke pasar. Misalnya, kita bawa ke toko-toko, atau kita gelar dalam pameran-pameran, ada juga di antara para peserta Lemka itu yang bekerja sama dengan Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional), juga mengikuti lomba-lomba kaligrafi,” terang Didin di program Sosok detikcom.
Sebagai pelaku kaligrafi selama hampir setengah abad lamanya, Didin melihat sendiri bagaimana nilai seni kaligrafi bergeser dari waktu ke waktu. Semasa mudanya, harga karya kaligrafi ditentukan dari bahan baku pembuatannya. Sedang di masa kini, ada nilai-nilai nonmaterial yang dipertimbangkan dalam menentukan harga.
“Dulu tahun ’70-an, karya itu dihargai dengan seharga bendanya. Misalnya, kanvas. Kalau kanvasnya hanya sekadar 100 ribu masa (karyanya) jadi 10 juta, gitu. Nah sekarang tidak lagi benda yang dijual tuh. Nilai. Nah sehingga karya kaligrafi yang modalnya misalnya 100 ribu, bisa 10 juta. Atau bisa 20 juta,” jelas Didin.
Didin menyebutkan, kini karya seni kaligrafi nilainya kurang lebih sama seperti karya seni rupa lainnya. Seni kaligrafi kini bisa dibeli dengan harga mulai dari puluhan ribu hingga ratusan juta rupiah.
Hal ini berkaitan dengan kreativitas serta kemasyhuran kaligrafer. Tak hanya itu, ayat atau hadits yang dituliskan juga turut menentukan harga.
“Peminat karya kaligrafi itu melihat-lihat ayat apa yang ditampilkan. Ada beberapa ayat yang, bahasa kitanya itu, ‘komersil’ gitu. Ayat kursi, misalnya. Itu yang paling laku. Sama kalau karya itu digores oleh seorang tokoh kaligrafi, dan pelukis besar, itu bisa sampai ratusan juta,” tutur Didin.
Terkait perubahan ini, Didin mengaku senang. Berkat kemakmuran yang bisa didapat dari profesi kaligrafer, semakin banyak orang yang berminat mempelajari karya seni ini.
Lebih dari itu, melukis kaligrafi juga punya nilai ibadah. Sehingga, menurut Didin, melukis kaligrafi tak hanya mendatangkan kemakmuran, namun juga pahala.
“Kemakmuran yang datang kepada para kaligrafer ini telah mendorong semangat mereka untuk berkarya. Dan memang kaligrafi itu sendiri adalah berkah. Setiap huruf yang digoreskan itu, itu punya nilai pahala,” kata Didin.
(nad/vys)