Jakarta –
Warga Kota Bekasi Edwin Dwiyana dan warga Kabupaten Bogor Utari Sulistyowati menggugat KUHPerdata ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menggugat pasal riba dengan alasan bertentangan dengan konstitusi.
“Menyatakan materi muatan Pasal 1765 KUHPerdata, Pasal 1766 KUHPerdata, Pasal 1767 KUHPerdata dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 1 ayat (1) Aturan Peralihan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian permohonan keduanya sebagaimana dilansir website MK, Minggu (11/6/2023).
Pemohon mengutip Alquran:
Artinya: “Wahai orang-orang yang berman, tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba, jika kalian adalah orang-orang yang berman. Maka iika kalian tidak meninggalkan, maka umumkanlah perang kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian bertaubat, maka bagi kalian adalah pokok harta kalian. Tidak berbuat dhalim lagi terdhalimi. Dan jika terdapat orang yang kesulitan, maka tundalah sampai datang kemudahan. Dan bila kalian bersedekah, maka itu baik bagi kalian, bila kalian mengetahui.” (QS Al-Bagarah: 278-280).
Menurut keduanya, perbuatan mematok bunga (interest/fa’idah) dalam klausul perjanjian atau kontrak ataupun dalam perbuatan hukum dikategorikan sebagai riba yang hukumnya haram.
“Bahwa dengan demikian maka berlakunya klausul sebagaimana dimaktub dalam objek permohonan a quo adalah sangat merugikan kepentingan konstitusional Para Pemohon karena membuat Para Pemohon menjadi tidak terjamin kemerdekaannya dalam menjalankan agama yang dianut Para Pemohon, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 a quo,” urainya.
Selain daripada itu, klausul yang dimaktub dalam objek Permohonan khususnya frasa “bunga” dimaksud adalah merupakan murni peninggalan warisan rezim kolonialisme Hindia Belanda yang diambil dari Code Napoleon.
“Yang tentu sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia di mana diutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucapnya.
Dengan memberlakukan klausul “bunga” sebagaimana dimaktub dalam objek permohonan a quo, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan Para Pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, yang harus tunduk dan taat pada aturan dan larangan yang diperintahkan dalam Al Quran dan as Sunnah. Pun sangat tidak berkeadilan karena akan berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi yang lemah (imperior) dan pihak debitur selalu dalam posisi yang superior.
“Bahwa oleh karena juga mengingat betapa besarnya dosa riba sebagaimana diungkapkan dalam sebuah Hadist yang intinya menyebutkan bahwa dosa riba yang terkecil adalah ibarat “menzinahi ibu kandung sendiri” yang mana perbuatan riba itu bukan sekedar tercatat pada pihak yang berutang atau yang mengutangkannya, melainkan juga ikut serta pihak yang mencatatkannya, yang kesemuanya dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnyalah Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga dalam alam akhirat kelak tidak tergolong sebagai kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia,” cetusnya.
Kini berkas permohonan tersebut sudah didaftarkan dan diproses kepaniteraan MK.
Simak juga ‘Saat Running Text di Bekasi Diretas Sindir Plt Wali Kota hingga Satpol PP’:
(asp/fca)