Jakarta –
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI (PDTT) Abdul Halim Iskandar mengatakan pengentasan daerah tertinggal masih tersisa 37 daerah sampai 2024. Pengentasan wilayah tertinggal bakal dilanjutkan sampai 2025.
“Tersisa 37 yang kita upayakan di RPJP kedua 2024-2025,” kata Abdul di Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (3/10/2023).
Abdul memaparkan upaya pengentasan daerah tertinggal sudah dimulai sejak era Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Abdul menjabarkan pada 2004 sampai 2009 telah dientaskan 50 kabupaten tertinggal dari 199 kabupaten ditambah 34 daerah otonom baru, menjadi 183 kabupaten tertinggal.
Kemudian periode 2009 sampai 2014 dientaskan 70 kabupaten, dari 183 daerah tertinggal dan 9 daerah otonom baru, menjadi 122 daerah tertinggal.
“Pada periode tahun 2014 sampai 2019, dientaskan 62 kabupaten, dari 122 daerah tertinggal dan 2 daerah otonom baru, menjadi 62 daerah tertinggal. Pada periode tahun 2019 sampai 2024, ditargetkan terentaskan 25 kabupaten, dari 62 daerah tertinggal, direncanakan menjadi tinggal 37 daerah tertinggal,” tutur Abdul.
Lalu apa yang jadi hambatan dalam pengentasan daerah tertinggal? Abdul menyebut semakin hari kendala itu berkurang.
“Hambatan semakin hari makin berkurang dan oleh karena itu kualitas kemandiriannya atau entas tertinggalnya? Makin kita tingkatkan. Jadi intensitas kualitas ukuran ketertinggalan dulu dengan hari ini memang agak berbeda, sama dengan ukuran SDM desa itu terus kita tingkatkan karena kualifikasinya berbeda,” jelasnya.
“Bisa saja kondisi daerah tertinggal hari ini dibanding dengan yang dulu yang tak tertinggal itu sama. Bisa saja seperti itu karena kita naikkan grade-nya. Itu makanya masih tersisa 37,” imbuh Abdul.
Pada tahun ini pemerintah melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal melalui penguatan asimetri pembangunan berbasis data dan rekomendasi lokal, juga sesuai masalah dan potensi setempat, serta penggunaan data pemanfaat by name by address. Kedua, upaya yang dilakukan yakni penguatan gotong royong kelembagaan lintas Kementerian/Lembaga, serta sinergi dengan pemerintah daerah, juga pihak swasta, perguruan tinggi, dan pers lokal maupun nasional.
“Koordinasi regulasi perencanaan belanja pada anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, agar lebih cepat dan efektif diimplementasikan di lapangan,” kata Abdul.
“Secara khusus, menjalankan pendekatan pembangunan kolaboratif yang khas bagi masyarakat, budaya, dan kondisi fisik daerah tertinggal, di Wilayah Pulau Papua,” lanjutnya.
(idn/fas)