Jakarta –
Dari passion menjadi occupation adalah kalimat pertama yang diucapkan Ayu Savitri Nurinsiyah, saat mengingat kembali bagaimana dirinya bisa berakhir menjadi seorang peneliti keong darat. Ketertarikan Ayu pada keong darat sudah bermula sejak usia belia. Saat itu, Ayu melihat sepupunya terluka karena menginjak beling. Alih-alih mengobati lukanya menggunakan obat merah, tante Ayu justru menempelkan lendir bekicot untuk menghentikan pendarahan pada luka sepupunya. Ayu yang masih duduk di bangku SMA pun merasa takjub dengan kejadian tersebut.
“Proses itu saya amati terus, dan pas kebetulan, waktu SMA itu diminta bikin paper. Karena ada kejadian itu, saya pilih materi biologi, dan tentang bekicot itu. Terus saya baca, kok bisa sih, keong itu dia bikin lukanya sepupu saya gumpal? Nah ternyata, ada fakta-fakta dari keong itu yang bikin lukanya sembuh. Sejak dari SMA itu, saya daftar kuliah ke biologi,” ungkap Ayu di program Sosok detikcom, Senin (11/3).
Setelah memutuskan untuk melanjutkan studinya di jurusan biologi, Ayu semakin sering berhadapan dengan keong darat sebagai topik penelitiannya. Dari situlah Ayu melihat bahwa ketertarikannya pada keong darat dapat diteruskan secara akademik.
Perjalanan Ayu berlanjut dengan mengambil gelar ganda untuk program magisternya di Universitas Padjadjaran dan Universitas Twente, Belanda. Lalu ia merengkuh gelar Doktor di Universitas Hamburg, Jerman.
Sejak menjadi peneliti di LIPI pada 2019, Ayu semakin giat berkeliling Indonesia. Ia aktif meneliti dan bahkan menemukan keong-keong endemik Indonesia yang belum bernama. Hingga kini, ia telah menemukan 23 spesies keong darat yang tersebar di berbagai pelosok negeri.
Bagi Ayu, tentu hal paling menyenangkan dari ekspedisi lapangan adalah berada di tengah alam terbuka. Bahkan, ketika ditanya seberapa dekatnya ia dengan alam, Ayu berkelakar, “Lengket lah, seperti lendir keong.”
Tak hanya itu, Ayu juga sangat menghargai waktu-waktu yang ia habiskan bertemu dengan warga setempat saat meneliti. Bagi Ayu, penelitian lapangan merupakan kesempatan baik untuk sekaligus mengedukasi masyarakat mengenai keong darat endemik.
Menurut pengamatan Ayu, hingga saat ini pengetahuan masyarakat mengenai keong darat endemik masih begitu minim. Bahkan, seringkali Ayu menemui masyarakat yang hanya mengetahui bekicot sebagai satu-satunya jenis keong darat. Padahal, bekicot justru bukan keong darat asli Indonesia.
“Bekicot itu keong jenis asing invasif, bukan keong Indonesia. Jadi, dia secara masif pada tahun 1940-an didatangkan secara sengaja oleh tentara Jepang untuk jadi makanan mereka pada waktu mereka menjajah, gitu. Jepangnya pergi, keongnya (masih) ada di sini. Padahal, di Indonesia sendiri kita punya lebih dari 1800 jenis keong darat. Di Jawa, ada 263 spesies. Jadi, masih ada 262 lain yang sebenarnya bisa dikulik,” tutur Ayu.
Akibat ketidaktahuan tersebut, habitat asli keong darat asli Indonesia rentan dialihfungsikan lantaran dianggap tidak membawa manfaat. Inilah yang berusaha Ayu cegah lewat edukasinya terhadap masyarakat serta pihak lainnya.
“Karena ketidaktahuan, ketidak-awareness masyarakat awam dan berbagai stakeholders, jadinya itu (keong darat endemik) bisa punah tanpa kita tahu dia ada. Dan jangankan untuk bisa mengetahui manfaatnya, gitu ya. Dianya aja sudah hilang. Itu yang jangan sampai sih,” jelas Ayu.
Peneliti yang telah mengantongi penghargaan Tony Whitten Conservation Prize dari Cambridge Conservation Initiative (2019), L’Oréal-UNESCO For Women in Science Awards (2019), dan 75 Ikon Berprestasi Pancasila BPIP (2020) ini menyadari bahwa perjalanannya masih panjang.
Bagi Ayu, menemukan spesies keong darat baru di Indonesia perlu dibarengi dengan kesadaran bersama untuk menjaga keanekaragaman hayati. Dengan demikian, barulah manfaat dari alam dapat dipetik dengan optimal. Hal kecil yang Ayu lakukan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan selalu siap untuk ‘diwawancara’.
“Kalau saya rasa ya, kami sebagai peneliti itu emang harus siap ‘diwawancara’ ya sebenarnya. Bukan diwawancara seperti ini saja ya, tetapi sama masyarakat lokal. Kadang mereka juga suka (merasa) aneh kan, ‘Ibu ngapain ngumpulin keong? Ini apa?’ gitu. Nah, kita harus bisa memberitahukan ke mereka dengan, ya itu, bahasa sederhana. Yang saya juga masih belajar,” ujar Ayu.
(nel/nel)