Jakarta –
Masyarakat Bangkalan, Jawa Timur digegerkan dengan peristiwa seorang pria berlumuran darah yang diduga korban penganiayaan senjata tajam. Ia terlihat masih hidup namun hanya bisa mengedipkan mata dan tak mampu berbicara.
“Carok, carok, daerah Laok. Carok daerah Laok,” ujar perekam dalam video viral.
Peristiwa itu terjadi di Desa Tanah Merah Laok Bangkalan. Ternyata, pria itu adalah 1 dari 7 korban luka akibat carok yang salah satu korbannya tewas.
“Dari penganiayaan itu ada satu korban meninggal dunia,” ujar Kapolres Bangkalan AKBP Febri Isman Jaya ketika dikonfirmasi mengenai peristiwa itu, Minggu (4/6/2023).
Lalu, apa itu carok? Bagaimana asal-usul carok yang disebut berasal dari Madura? Simak penjelasannya berikut ini.
Mengutip dari situs Universitas Gajah Mada, carok adalah ritual pemulihan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Carok dianggap sebagai satu-satunya cara oleh masyarakat Madura sebagai cara untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan.
Orang yang melakukan carok menggunakan senjata celurit untuk menyerang lawannya. Meski demikian hal ini tidak berlaku bagi masyarakat lain di luar Madura. Masyarakat di luar Madura mungkin akan menganggap bahwa carok merupakan sebuah tindakan pembunuhan yang keji dan melanggar hukum yang berlaku di Indonesia.
Contoh celurit yang biasa dipakai pelaku carok (Foto: Dok. Polres Lumajang)
|
Mengapa Orang Madura Melakukan Carok?
Biasanya, kasus carok diawali oleh konflik, meskipun konflik tersebut dilatar belakangi oleh permasalahan berbeda (kasus masalah perempuan, tuduhan mencuri, perebutan warisan, pembalasan dendam) yang mengakibatkan perasaan pelecehan harga diri (martabat). Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok, yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial.
Semua pelaku carok yang berhasil membunuh musuhnya menunjukkan perasaan lega, puas, dan bangga. Meski demikian, aparat seperti polisi, jaksa, dan hakim menganggap carok termasuk dalam kategori perbuatan kriminal dan pelakunya dapat diberi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku.
Asal-usul Tradisi Carok
Dilansir situs Kemdikbud, pelaku carok menggunakan celurit sebagai senjata perlawanannya. Celurit atau clurit bukan sekadar senjata tradisional khas dari Madura, namun tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi masyarakat Madura.
Celurit dianggap sebagai simbol kejantanan laki-laki. Menurut Budayawan D. Zawawi Imron, senjata celurit memiliki filosofi dari bentuknya yang mirip tanda tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
Carok dan celurit bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).
Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal carok. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris.
Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Sakerah, mandor tebu dari Pasuruan. Ia melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda menggunakan celurit yang biasanya hanya digunakan sebagai alat pertanian. Celurit bagi Sakerah merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
Saat lelaki asal Bangkalan itu dihukum mati, warga Pasuruan yang mayoritas berasal dari suku Madura marah dan mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan senjata andalan berupa celurit. Sehingga, celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri serta strata sosial.
Lalu, apa hubungan celurit dengan carok? Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya, carok melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Oleh karena itu, celurit dipakai sebagai senjata dalam carok. Celurit yang dianggap sebagai simbol perlawanan digunakan oleh para pelaku carok dalam mempertahankan harga dirinya.
(kny/dnu)