Jakarta –
Dua pekan lalu Sistem PPDB (Penerimaan Sistem Didik Baru) kembali menuai protes orang tua murid dan Kepala Daerah. Kusutnya PDDB yang sudah berjalan selama 7 tahun ini diwarnai kecurangan hingga sekolah yang kekurangan murid. Organisasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mencatat ada beberapa masalah utama yang membuat PPDB tahun ini keruh.
“Yang pertama terkait, kondisi sekolah kita itu memang tidak merata distribusi atau apa namanya sebarannya di daerah-daerah di Indonesia karena kan memang demografis kita juga demikian kemudian juga terkait dengan geografis kita juga sangat luas sekali Nah ketidakmerataan sekolah negeri di wilayah Indonesia itulah yang menjadi salah satu persoalan pokoknya,” kata Satriwan Salim Koordinator P2G kepada tim Sudut Pandang detikcom, Senin (31/7/2023).
Satriawan menjelaskan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan berdampak sistem PPDB. Daya tampung sekolah tidak sebanding dengan jumlah siswanya.
“Akibatnya anak-anak yang pengen masuk negeri ini nggak bisa semua terserap di sekolah negeri, terpaksalah mereka masuk ke sekolah swasta dan itu berbayar. Persoalan kedua akibat tidak meratanya sebaran sekolah negeri di daerah-daerah mengalami kekurangan siswa,bahkan tidak ada siswa yang mendaftar,”
masalah berikutnya terkait label sekolah unggulan dan favorit. Stigma itu membuat orang tua murid berlomba-lomba memasukkan anaknya di sekolah tersebut. Sebab, seperti diketahui bahwa label itu diimbangi dengan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai.
“Karena sekolah itu dinilai oleh orang tua sebagai sekolah bagus, sekolah unggulan,” tuturnya.
Satriawan mengatakan seharusnya sistem PPDB meminimalisir masalah itu dengan jalur zonasi, afirmasi dan prestasi. Namun dalam pelaksanaan tidak semulus teori di atas kertas.
“Dalam perjalanannya banyak anak-anak yang miskin justru tidak bisa bersekolah di sekolah negeri. Padahal afirmasi itu menjadi substansi dari kebijakan PPDB ini, bagaimana keberpihakan negara kepada anak-anak yang tidak mampu sehingga mereka mendapatkan keadilan dalam pendidikan dan yang kedua, zonasi Ini sangat ramah anak mestinya meringankan beban orang tua dari segi biaya pendidikan sekolah,” jelasnya.
Satriawan menilai tujuan dari sistem PPDB sudah bagus dalam dunia pendidikan. Namun Kemendikbud Ristek dan Pemerintah Daerah sebagai pemangku pelaksanaan sistem PPDB tidak tegas dalam pelaksanaannya.Meski persentase jalur dalam sistem PPDB hingga batasan usia didik telah diatur oleh Kemendikbud Ristek, namun Satriawan menilai bahwa aturan itu masih banyak dilanggar.
“Memang diperkenankan usia tua itu. Tetapi persoalannya begini kalau sudah kayak SMA usia 19, 20, 21 meskipun oleh peraturan diperkenankan masuk ke sekolah formal lewat PPDB gitu ya dan diterima gitu, tapi kan mereka bukan usia anak lagi kan mestinya. Nah, kenapa mereka tidak mengambil paket C saja misalnya? Paket C atau PKBM ya, pendidikan berbasis masyarakat, itu kan pendidikan non formal yang juga diakui oleh negara, oleh pemerintah,” tuturnya
Satriawan pun menilai dalam pelaksanaan PPDB perlu ada evaluasi yang pasti. Tanpa harus mengesampingkan tujuan baik dari sistem untuk pemerataan pendidikan dan kualitas guru.
“Harus ada ketegasan dari Kemendikbud Ristek dan kesamaan pandangan frekuensi antar pemerintah daerah dengan Kemdikbud. Pengen kami kayak gini lho, cita-cita awalnya gitu. Jadi jangan ributnya itu setelah PPDB ribut, rame. Setelah PPDB ribut, begitu terus kan? setiap tahunseperti itu,kita jadi malu,” tuturnya.
Kemendikbud Ristek Dorong Pemda Benahi Sistem Pendidikan
Di sisi lain, Irjen Kemendikbud Ristek Chatarina Girsang menilai bahwa kisruh sistem PPDB terjadi karena kesenjangan sistem pendidikan serta infrastruktur di tingkat daerah.
Kendati demikian, Chatarina katakan bahwa hal itu merupakan tanggung jawab Pemda.
“Karena itu hak pendidikan mereka, sudah dijamin konstitusi,” tuturnya.
Chatarina mengatakan tiap tahun jelang tahun ajaran baru selalu ada sosialisasi pelaksanaan sistem PPDB dengan dinas pendidikan di daerah. Namun ia memaklumi kalau dalam pembuatan Juknis PPDB akhirnya meleset dari tujuan awal.
“Masalahnya bahan sosialisasi hanya masuk ke laci. Walaupun kita minta kepala, kelompok kerja, kepala sekolah, gitu ya,tolong sampaikan kepada teman-teman bapak ibu yang tidak hadir bahan kami ini,saya share semua bahan paparanya. Nah tadi ada yang masuk laci mungkin, ada yang salah memahami atau ketika sosialisasi juga nggak dengar, sibuk main hp-lah segala macem lah jadi ada yang nggak fokus gitu ya jadi kita kan nggak mungkin bisa memastikan bahwa mereka paham,” tuturnya.
Chatarina mengaku heran kalau ada siswa-siswi yang tidak masuk sekolah negeri karena usia lebih muda, meskipun rumahnya masuk dalam zonasi sekolah. Padahal ia katakan dalam Permendikbud Tahun 2021 itu telah diatur secara jelas persentase dan urutan seleksi untuk sekolah negeri.
“Jadi (Umur) ini untuk memperebutkan bangku yang paling terakhir. Yang diseleksi dengan umur,” tuturnya.
Adapun penilaian polemik PPDB karena Kemendikbud Ristek tidak tegas dalam sikapnya, Chatarina mengatakan sistem ini telah dilakukan sosialisasi hingga ke pelosok daerah, Kalaupun pihaknya tidak tegas, karena tidak punya kewenangan dalam berikan sanksi.
“Karena kan yang melakukan sebenarnya pemerintah daerah. Yang punya kewenangan Kemendagri. Kita sifatnya hanya memberi rekomendasi,” tutupnya.
(edo/vys)