Serang –
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Banten menuntut dua terdakwa korupsi di Bank Banten masing-masing 15 tahun dan 18 tahun penjara. Korupsi di bank daerah milik Pemprov Banten ini merugikan negara Rp 186,5 miliar lebih.
Di agenda dengan pembacaan tuntutan yang dilakukan bergantian, terdakwa pertama yaitu Satyavadin Djojosubroto dituntut dengan tuntutan penjara selama 15 tahun. Mantan Kepala Divisi Komersil Bank Banten dan Kepala Cabang Bank Banten di DKI Jakarta ini juga dituntut denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Satyavadin Djojosubroto berupa pidana penjara selama 15 tahun dengan dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara, dan dengan perintah terdakwa tetap ditahan, dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan,” kata JPU Dipiria di Pengadilan Tipikor Serang pada Rabu malam (11/1/2023).
JPU menilai bahwa terdakwa Satyavadin telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan terdakwa Rasyid Samsudin selaku Direktur PT Harum Nusantara Makmur (HNM). Hal ini sebagaimana dakwaan primair pada Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang TIndak PIdana Korupsi.
Sedangkan terdakwa kedua yaitu Rasyid Samsudin sendiri dituntut penjara selama 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rasyid Samsudin berupa pidana penjara selama 18 tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan sementara, dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan,” kata JPU.
Ia juga dituntut dengan pidana tambahan berupa uang pengganti yang nilainya Rp 186,5 miliar. Jika uang pengganti itu tidak diganti dalam kurun waktu 1 bulan setelah inkrah, maka harta bendanya akan disita.
“Jika terpidana tidak mempunyai harga yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun,” kata JPU Bambang Arianto bergantian.
Dalam pertimbangannya, JPU mengatakan bahwa kredit yang dilakukan oleh Bank Banten terhadap PT Harum Nusantara Makmur ini untuk kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) pada 2017 senilai Rp 61 miliar lebih. Di fakta persidangan bahwa sertifikat yang diagunkan oleh perusahaan milik terdakwa itu tidak pernah diikat dengan hak tanggungan.
Kemudian pencairan kredit modal kerja (KMK) dilakukan ke bank lain yaitu BRI. Mekanisme pembayaran kredit juga tidak disertai dengan surat standing instruction.
“Bahwa pencairan kredit investasi menemui kendala,” kata JPU.
(bri/isa)